Jumat, 21 Oktober 2016

Apresiasi Karya Sella Rimang "Perempuan Puisi"

Sudah lumayan lama saya mendengar kicau samar tentang Shella Rimang. Namun, sulit sekali untuk menemukannya. Rasa penasaran saya itu muncul karena Shella Rimang ini berasal dari desa Menarin Kab. Kapuas Hulu,  Kabupaten kota yang berada tiga belas jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum jika ditempuh dari Pontianak. Kabupaten ini juga adalah tempat kelahiranku, artinya Saya dan Sella Rimang ini sebenarnya berasal dari kabupaten yang sama.

Saya sering bertanya-tanya dalam hati, saya mencari-cari karya puisi Shella Rimang yang mereka sebut "Perempuan Puisi," kehadiran Shella melahirkan wajah baru setelah saya membaca karya Riani Kasih "Kopang" yang berasal dari Menendang, Kab. Kapuas Hulu.

Sampailah pada persiapan kegiatan "Mimbar Kemerdekaan," di depan UKM Mimbar Untan. Saya mulai mengenal akrab bung Ivo Trias J dan beberapa teman lain. Kami berkumpul bersama di bawah pohon mempersiapkan acara, di sana aku melihat si Perempuan Puisi yang rambutnya hitam sehat dengan mengenakan celana olah raga hitam. Kami bersalaman, lalu dengan sedikit tersenyum dalam hati saya berbisik "ini yang namanya Shella Rimang, si Perempuan Puisi."

Tidak hanya Ivo, dan Shella. Saya juga mulai mengenal si kaca mata bulat yang mengenakan Pet Cokelat. Pay, begitulah mereka memanggilnya. Dari keterangan teman-teman, si anak muda aneh ini ternyata juga adalah bagian dari komunitas Stand Up Comedy Pontianak. Nama-nama ini seperti melahirkan kembali energi-energi saya untuk melakukan kegiatan-kegiatan sastra setelah di tahun 2012 silam.

Pada malam 17 Agustus 2016, Pay atau Varli Pay Sandi selaku MC acara, sedangkan Ivo Trias J menjadi ketua panitia pelakasana. Dalam acara tersebut berkumpul wajah-wajah lama seperti Pradono, bg Herfin, bung Yudhi Noer sahabat dari UKM Sarang Semut, Nindit yang sekarang menjadi sekretaris FORSAS. Lalu, ada banyak sekali wajah-wajah baru, seperti Abah Zaillani Abdullah yang ternyata setelah saya semakin akrab. Beliau adalah tokoh sejarah perkembangan sastra di Kalimantan Barat. Beliau telah menelurkan karya-karya sejak tahun 1957. Untuk pertama kalinya sayapun mengenal teman-teman dari Komunitas Membaca bung Dadi Naang, beliau yang membuka lapak "Membaca Gratis" di bundaran UNTAN, saya juga bertemu dengan Irvan dari UKM Mimbar Untan.

Dari perkenalan itu, saya merasa harus terus membaur bersama mereka. Saya yakin sekali dengan berkumpul dengan mereka yang punya semangat besar untuk sastra Kalimantan Barat. Nah, kata hati sayapun terjawab, kami bersama-sama menghadirkan beberapa kegiatan sastra  seperti kegiatan Apresiasi. Karena kebetulan saya jadi penunggu warung kopi Bandar Klasik yang dimotori oleh bung Hatta seorang yang berkecimpung di dunia perfilm-an dengan latar belakang teater.

Diskusi pertama, kami membahas tentang Pontianak di Malam Hari, Lalu kami berbicara melakukan apresiasi membahas karya-karya seniman. di antaranya adalah karya Abah Zaillani. Acara yang kami laksanakan pada tanggal 16 Oktober 2016 dihadiri oleh pak Musefitial Musa dari Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat.  Hadir juga pertunjukan baca karya oleh komunitas De Javu.

Hm....saking asik cerita....ternyata saya sudah terlalu jauh berbelok....jum kita kembali lagi ke Shella Rimang hehehhehehe

"Bang! kemarinkan kita sudah memberikan apresiasi karya abah. Yok kita jadikan acara untuk Perempuan Puisi," ajak si Pay.

Ajakan itu saya sambut dengan sangat gembira, karena memang saya sedang berharap sekali agar seniwati Shella Rimang ini di munculkan. Apa yang sudah menjadi wacana saya, ternyata sudah di lontarkan oleh Pay. Akhirnya, kami memutuskan untuk memberikan apresiasi karya Shella Rimang di V'Note Coffee di Jl. Ampera Kota Baru, Pontianak.

Kamipun berbincang padat dengan si Pay, lalu melibatkan Shella Rimang, mengonsep acara. Saya menawarkan agar komunitas De Javu mendapat ruang membacakan puisi Shella Rimang. Dengan membawa sehelai kertas yang berisi puisi karya sang Perempuan Puisi yang berjudul "Malam Ajar," saya menuju ke UKM De Javu, muculah lima orang perempuan-perempuan puisi yang sampai sekarang baru si Bella yang saya kenal...hehe...maklum ingatan saya kurang.......Saya ingat Bella ini karena dia juga berasal dari Kab. Kapuas Hullu tepatnya dari Tepuai. Harapan saya, Bella juga akan menjadi bibit sastra yang nanti akan diperhitungkan karya dan namanya.....amin.....

Tanggal 22 Oktober 2016, menjadi saksi sejarah sang Perempuan Puisi. Kegiatan Apresiasi karya di hadiri oleh pak Nano L. Basuki yang dulunya adalah teman sepergerakan menumbuhkan kegiatan-kegiatan sastra. Sahabat, serta guru yang selalu memberikan motivasi untuk saya menulis, dan melagukan puisi-puisi. Beliau yang cukup padat jadwalnya karena profesinya sebagai seorang Guru di SMP Suster ternyata dapat meluangkan waktunya untuk menghadiri acara Apresiasi Karya Shella Rimang "Perempuan Puisi."

Lebih kurang pukul 19:30 WIB, acara apresiasi di buka oleh MC (.Sajidin Muttaqin Putra)
 
Sebagai pembuka acara saya membacakan puisi Shella yang berjudul "Perempuan Puisi (3),

Perempuan Puisi (3)

/1/
Jangan tertawa pada gelegar suara yang tafsirnya tak sampai kepalamu
Bisa saja, haha-hihi itu cabai atau arem-arem atau garam di
dapur ibu

/2/
Tafsirmu akan puisi tak akan jadi dalam sekali. Sebab
seorang perempuan puisi berhati-hati menggenggam tafsir
dalam pembaringan hingga mimpinya
masih merangkul artefak bunyi-bunyi bahasa

/3/
Harimau mati meninggalkan belang
Perempuan puisi abadi memustakakan kata bergudang-gudang


Pontianak, 29 September 2015.

Selanjutnya, saya melantunkan lagu yang saya ciptakan "Percumbuan Sesal"
 
Kemudian dilanjutkan oleh pembacaan sebuah puisi yang berjudul "Malam Ajar," Karya Shella Rimang oleh lima orang perempuan dari UKM De Javu.

 

Sungguh malam ini semarak sekali, apalagi jika memandang wajah MCnya....saya seperti sedang menyaksikan komedi Warkop era 80-an.......kalau tidak percaya...lihat....foto berikut...hehhe



saking kocaknye......terlihat seperti seorang yang sedang menawarkan obat kuat....upsss...obat kurap...hehhehe
oya hampir lupa......si MC yang benar-benar MC ini.....namanya Sajidin Muttaqin Putra..... terlihat sekali kalau Shella Rimang sedang menertawai promosinya...hahaha.... "Kumisnya....." Sella Berbisik...hahahhaha

Setelah si Perempuan Puisi ini membaca beberapa karyanya, hadirlah pak Nano L. Basuki yang masih saja konsisten dengan rambut belah tengah, dan masih mempertahankan kegemukannya itu...heheh...sorry mas.....
dengan hangat.....pak Nano mengulas sedikit karya-karya Shella dalam Antologi. Beberapa saran yang saya tangkap dari pembicaraan tersebut adalah.....Shella harus banyak membaca perjuangan kaum perempuan untuk menghasilkan Perempuan Puisi yang berbeda.....saya juga berharap banyak agar suatu saat Shella akan berbicara tentang Perempuan-perempuan desa.

oya........Apresiasi Karya ini dihadiri oleh teman teman komunitas seperti Geng Sastra (Amai Bunglon, Dicky Armando), Pontianak Membaca (Dadi Naang), Kalbar Membaca (Varli Pay Sandi), Komunitas Menulis Pena Merah (Sajidin), Penerbit Pustaka Rumah Aloy, UKM Seni UNU De Javu (Ragil Maulana, Adhe, Bella Saputri, Eviliani Oktavia, Atikah Herawati, Nur istiqomah, Alberta Alpia, Valena Susana), Group Band Pada Satu Titik ( Jimmy S. Mudya----hehehehhehehe, juga ada Oji), FORSAS (Farninda Aditya).

Dalam kegiatan diskusi ini, Abah Zaillani Abdullah yang hadir sedikit terlambat karena menunggu sang pujangga cinta rapuh Yudhi Noer menjemput dan ternyata akhirnya berangkat sendiri.....hahah.......Yudhi....yudhi...hahahah..........
Tampak dari wajah Abah, sebuah kekaguman besar atas karya-karya Shella. Beliau yang katanya ketinggalan buku Shella.......mengutarakan perasaannya setelah membaca karya-karya Perempuan Puisi ini....."Shella sangat cerdas bermain kata-kata.....puisi-puisinya yang memuat unsur riligius ini dikemas seakan akan tidak tampak sisi religiusnya...sehingga menjadikan puisi ini membuat kedamaian di hati."

Beliau menambahkan, "Ayo...teruslah berkarya......jangan menjadi orang yang sombong hanya karena alasan sudah punya banyak antologi"


Malam Apresiasi ini ditutup dengan pembacaan puisi Oleh Nano L. Basuki, kemudian saya lanjutkan dengan menyanyikan dua puisi (Banjir dan Nyanyian Anak Batas).....syukur....budak-budak tepuk tangan...hehehhee....

Hmmm........
ternyata setelah acara di tutup.......entah bagaimana tiba-tiba seperti dibuka lagi...... acara difokuskan untuk menggali ide untuk acara-acara berikutnya.
Ide demi ide bermunculan, salah satu yang paling menonjol adalah ...akan hadirnya Antologi puisi bersama.....nama-nama yang sudah berniat untuk menjadi bagian dari tubuh antologi puisi sudah dicatat oleh si kaca mata bulat...Varli Pay...., tidak hanya itu...sayapun menyampaikan harapan yang besar untuk mengajak teman-teman yang memiliki kerinduan untuk menulis dan menelurkan karya-karya yang indah dan bermanfaat.....saya mengajak mereka untuk menulis bersama...berdiskusi karya bersama.....dan saya berharap sekali...ada teman-teman yang mau berproses untuk melahirkan karya-karya hebat......bukan karya asal-asal......................alias asal terbit...dijual.....dapat duit...dan dapat gelar sebagai seorang penulis hebat......sebab...saya yakin penulis-penulis seperti Abah Zaillani Abdullah, Pay Jarot Sujarwo, Nano L. Basuki, Saifun Arif Kojeh, Wyas, Amrin Zuraidi Rawansyah, dll....sangat mengapresiasi tumbuhnya penulis muda Kalimantan Barat....sekenal saya...mereka bukanlah orang-orang yang pelit ilmu....dengan adanya minat bakat untuk berkarya.....mereka sudah sangat bangga....seperti puisi yang sering dibacakan oleh Varli Pay Sandi yang berjudul "UANG ASAP" yang isinya.... MAHAL....... hahahhahaaha


kembali ke cerita acara Sella ye....hmmmm

pada akhirnya kami foto-foto...untuk bereksis ria....sebagai sebuah kepuasan..........



Sampai berjumpa lagi di acara-acara sastra berikutnya.......................
yang berminat...yuk merapat........................................ I LOVE YOU hahhahahahha

Senin, 17 Oktober 2016

Apresiasi Karya Abah Zaillani Abdullah



Berawal dari rasa ingin tahu tentang geliat sastra di Kalimantan Barat di cafe COC jalan Danau Sentarum. Saya, Jimmy S. Mudya dan Varli Pay Sandi mengirim pesan lewat inbox facebook kepada seorang sastrawan yang sangat akrab kami sapa “Abah”. 
“Selamat malam, Abah” begitu kalimat pembuka yang ku kirim.
“Malam juga bro. Apa acara ni?” jawab beliau begitu akrabnya.
“Abah...besok rencana mau ke rumah abah...ada yang mau dibincangkan. Kira-kira jam berapa abah siap nich...hehehe” tanyaku.
“Terserah ente...” balas beliau tanpa menunggu waktu yang lama.
“Oke2....ini baru mantab,” balasku sekaligus menanbah jempol dalam pesannya. Usai chat saya, Pay,  juga Yudhie sepakat akan mengunjungi Abah Zailani esok sore.

Keesokan harinya entah apa yang dipikiran seorang Varli yang dengan semangatnya mengajak Jimmy untuk ke rumah abah. Padahal matahari belum sampai ke ubun-ubun. Saya pun segera mengirim pesan kepada Abah untuk mengkonfirmasi apakah beliau sedang tidak sibuk atau sedang berada di rumah. Gayung bersambut, ternyata beliau menunggu kedatangan kami.
Siang itu, Saya dan Varli berangkat dengan menggunakan kedaraan vixion berwarna hitam menuju kediaman Abah Zailani. Tiba di depan kediaman Abah. Tampak dari pintu yang sedang terbuka Abah dengan singlet dan kain sarung.
“Ayo masuk, Jim buat kopi sendiri,” ucap beliau dengan senyuman tulusnya.
Sejak siang itu beliau langsung memberikan apresiasi atas kegiatan-kegiatan apresiasi sastra sebelumnya. Beliau langsung membuka cerita tentang pengalamannya di dunia seni. Begitu banyak seniman-seniman yang disebut oleh beliau. Dari wajahnya tampak sedih, apalagi ketika bercerita tentang empat sekawan dalam Komunitas KOMPAK. Sebab, beliau kini tinggal sendirian karena rekan-rekannya terlebih dahulu telah kembali kepada Yang Maha Kuasa.
“Abah. Kedatangan kami ke sini mau mengadakan acara apresiasi karya-karya abah yang pernah abah tunjukan beberapa hari lalu,” jelas Varli sambil melepaskan kacamata bulatnya.
“Wah, bagus itu. Apapun yang akan kalian lakukan untuk perkembangan sastra akan saya dukung,” jawab beliau.
“Boleh kami melihat karya-karya abah? Sebab, rencananya karya-karya abah akan dibacakan oleh UKM Seni De Javu kampus UNU,” tambahku

Tanpa menunggu lama, beliau segera berdiri, berjalan mendekati lemari kemudian mengeluarkan bundelan map yang isinya adalah kliping-kliping karya beliau.
Lukisan Abah Zaillani Abdulah dan tumpukan puisi-puisi.
Banyak cerita yang beliau sampaikan, baik berupa motivasi begitu juga nasehat-nasehat agar tetap menjadi penulis yang tidak menungjukan keangkuhannya. 
 

Oya hampir lupa, sore itu Yhudie seorang pemuisi yang bersal dari Singkawan menyusul...tapi untuk sementara belum ada foto yang bisa ditampilkan karena waktu itu bung Yhudie tugasnya adalah sebagai cameramen alias tukang foto. hahhahaha

Keesokan harinya, sayapun berangkat ke kampus Unu untuk memenuhi undangan teman-teman UKM De Javu untuk memberikan penampilan pembacaan puisi dan musikalisasi puisi. Saat itu, saya dan anggota De Javu bung Ragil sudah mempersiapkan pertunjukan sederhana. Hampir setiap sore sebelumnya kami berlatih agar pertunjukan pembacaan puisi itu dapat dinikmati oleh parapengunjung.
 
Malam itu, Saya membuka acara dengan membacakan puisiku yang berjudul "Malam Bulan Purnama", kemudian langsung dilanjutkan oleh bung Ragil Maulana dengan puisiku yang berjudul " Dilema", saya sangat menghayati pembacaan puisi bung Ragil sehingga pada saat itu saya mengambil inisiatif untuk terus melanjutkan pertunjukan itu dengan melantunkan musikalisasi puisiku yang berjudul "Nyanyian Anak Batas" hatiku sesak, menangis, begitu pecah keheningan malam itu dengan riuh jerit para generasi muda mahasiswa Unu.
Usai acara, saya mengajak bung Singgih Herlambang untuk berdiskusi berkaitan dengan tawaran agar UKM De Javu mengisi acara apresiasi karya Abah Zailani. Gayungpun bersambut, akhirnya kami bertemu lagi keesokan harinya. Sebab, keesokan harinya akan ada acara pengenalan UKM De Javu kepada Maba UNU.
Usai berkenalan dan bercerita sedikit persoalan hoby dan kecintaan saya terhadap dunia puisi. Sayapun mengeluarkan karya-karya abah. Sontak seluruh audiniens di sana tercengang dan sangat ingin memberikan apresiasi terhadap karya-karya beliau yang di tulis sejak tahun 70-an.

 
Dengan antusias yang sangat luar biasa. Mereka memilah kliping-kliping puisi itu kemudian mencatatnya dibuku masing-masing. Mereka memenggal kalimat-kalimat lalu berdiskusi singkat perihal isi dalam puisi yang akan mereka bacakan. Dengan penuh semangat latihan pada hari itu berjalan dengan lancar.

Pada hari Minggu tanggal 16 Oktober 2016, acara apresiasi karya Abah Zaillani Abdullah akan segera dimulai. Sejak sore hari, saya sudah menyusun sound, dilanjutkan oleh bang Hatta selaku pemilik warung Kopi Bandar Klasik tempat pelaksaaan kegiatan diskusi. 


bersambung.....

Minggu, 27 Januari 2013

W. S. Rendra

Rendra (Willibrordus Surendra Broto Rendra); lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton majapahit. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya. Setelah menikah, ia pindah agama menjadi Islam

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternyapun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari.
Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, ebony, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong dan lain-lain.

Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan

  • Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
  • Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
  • Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
  • Hadiah Akademi Jakarta (1975)
  • Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
  • Penghargaan Adam Malik (1989)
  • The S.E.A. Write Award (1996)
  • Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Romantisme percintaan mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku "Empat Kumpulan Sajak".
Di kemudian hari pada tahun 1971 datanglah Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat ditemani oleh kakaknya RA Laksmi Prabuningrat, keduanya adalah putri darah biru Keraton Yogyakarta mengutarakan keinginannya untuk menjadi murid Rendra dan bergabung dengan Bengkel Teater. Tak lama kemudian Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti mengenai masuknya Rendra menjadi Islam hanya untuk poligami. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Mikriam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja" dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.

Beberapa karya

Drama

  • Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
  • Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
  • SEKDA (1977)
  • Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
  • Mastodon dan Burung Kondor (1972)
  • Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
  • Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
  • Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
  • Lysistrata (terjemahan)
  • Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
  • Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
  • Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
  • Lingkaran Kapur Putih
  • Panembahan Reso (1986)
  • Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
  • Shalawat Barzanji
  • Sobrat

Kumpulan Sajak/Puisi

  • Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
  • Blues untuk Bonnie
  • Empat Kumpulan Sajak
  • Sajak-sajak Sepatu Tua
  • Mencari Bapak
  • Perjalanan Bu Aminah
  • Nyanyian Orang Urakan
  • Pamphleten van een Dichter
  • Potret Pembangunan Dalam Puisi
  • Disebabkan Oleh Angin
  • Orang Orang Rangkasbitung
  • Rendra: Ballads and Blues Poem
  • State of Emergency

 

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono

Prof Dr Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1940 ini, mengaku tak pernah berencana menjadi penyair, karena dia berkenalan dengan puisi secara tidak disengaja. Sejak masih belia putra Sadyoko dan Sapariyah itu, sering membenamkan diri dalam tulisan-tulisannya. Bahkan, ia pernah menulis sebanyak delapan belas sajak hanya dalam satu malam. Kegemarannya pada sastra, sudah mulai tampak sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kemudian, ketika duduk di SMA, ia memilih jurusan sastra dan kemudian melanjutkan pendidikan di UGM, fakultas sastra.
Anak sulung dari dua bersaudara abdi dalem Keraton Surakarta itu mungkin mewarisi kesenimanan dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah pintar membuat wayang—hanya sebagai kegemaran—dan pernah memberikan sekotak wayang kepada sang cucu. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang (menyanyikan puisi Jawa) dari syair yang dibuat sendiri. “Tapi saya tidak bisa menyanyi, suara saya jelek,” ujar bekas pemegang gitar melodi band FS UGM Yogyakarta itu. Sadar akan kelemahannya, Sapardi kemudian mengembangkan diri sebagai penyair.
Selain menjadi penyair, ia juga melaksanakan cita-cita lamanya: menjadi dosen. “Jadi dosen ‘kan enak. Kalau pegawai kantor, harus duduk dari pagi sampai petang,” ujar lulusan Jurusan Sastra Barat FS&K UGM ini. Dan begitu meraih gelar sarjana sastra, 1964, ia mengajar di IKIP Malang cabang Madiun, selama empat tahun, dilanjutkan di Universitas Diponegoro, Semarang, juga selama empat tahun. Sejak 1974, Sapardi mengajar di FS UI.
Sapardi menulis puisi sejak di kelas II SMA. Karyanya dimuat pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tidak lama kemudian, karya sastranya berupa puisi-puisi banyak diterbitkan di berbagai majalah sastra, majalah budaya dan diterbitkan dalam buku-buku sastra. Beberapa karyanya yang sudah berada di tengah masyarakat, antara lain Duka Mu Abadi (1969), Mata Pisau dan Aquarium (1974).
Sebuah karya besar yang pernah ia buat adalah kumpulan sajak yang berjudul Perahu Kertas dan memperoleh penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan kumpulan sajak Sihir Hujan – yang ditulisnya ketika ia sedang sakit – memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia. Kabarnya, hadiah sastra berupa uang sejumlah Rp 6,3 juta saat memperoleh Anugerah Puisi Poetra Malaysia langsung dibelanjakannya memborong buku. Selain itu ia pernah memperoleh penghargaan SEA Write pada 1986 di Bangkok, Thailand.
Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. “Pada Sapardi, maut atau kematian dipandang sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut tumbuh,” tulis Jakob Sumardjo dalam harian Pikiran Rakyat, 19 Juli 1984.
Bekas anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Sapardi, yang pernah menjadi redaktur Basis dan kini bekerja di redaksi Horison, berpendapat, di dalam karya sastra ada dua segi: tematik dan stilistik (gaya penulisan). Secara gaya, katanya, sudah ada pembaruan di Indonesia. Tetapi di dalam tema, belum banyak.
Penyair yang pernah kuliah di Universitas Hawaii, Honolulu, AS, ini juga menulis buku ilmiah, satu di antaranya Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas. (1978).
Selain melahirkan puisi-puisi, Sapardi juga aktif menulis esai, kritik sastra, artikel serta menerjemahkan berbagai karya sastra asing. Dengan terjemahannya itu, Sapardi mempunyai kontribusi penting terhadap pengembangan sastra di Tanah Air. Selain dia menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia patut dihargai sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru.
Dengan kepekaan dan wawasan seorang sastrawan, Sapardi ikut mewarnai karya-karya terjemahannya seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang ditulis dalam bahasa Inggris. Selain itu dia juga menerjemahkan karya asing seperti karya Hemmingway The Old Man and the Sea, Daisy Manis (Henry James), semuanya pada 1970-an. Juga, sekitar 20 naskah drama seperti Syakuntala karya Kalidasa, Murder in Cathedral karya TS Elliot, dan Morning Become Electra trilogi karya Eugene O’neil.
Sumbangsih Sapardi juga cukup besar kepada budaya dan sastra, dengan melakukan penelitian, menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan aktif sebagai administrator dan pengajar, serta menjadi dekan Fakultas Sastra UI periode 1995-1999. Dia menjadi penggagas pengajaran mata kuliah Ilmu Budaya Dasar di fakultas sastra.
Dia menyadari bahwa menjadi seorang sastrawan tidak akan memperoleh kepuasan finansial. Kegiatan menulis adalah sebagai waktu istirahat, saat dia ingin melepaskan diri dari rutinitas pekerjaannya sehari-hari. Menikah dengan Wardiningsih, ia dikaruniai dua anak, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko.